penatalaksanaan fisioterapi pada frozen shoulder
penatalaksanaan fisioterapi pada frozen shoulder
A. Pengertian Frozen shoulder
Frozen shoulder merupakan penyakit dengan
karakteristik nyeri dan keterbatasan gerak, dan penyebabnya idiopatik yang
sering dialami oleh orang berusia 40-60 tahun dan memiliki riwayat trauma
sering kali ringan. Penyebab frozen shoulder tidak diketahui, diduga
penyakit ini merupakan respon auto immobization terhadap hasil –
hasil rusaknya jaringan lokal. Meskipun penyebab utamanya idiopatik, banyak
yang menjadi predisposisifrozen shoulder, selain dugaan adanya respon auto
immobilisasi seperti yang dijelaskan di atas ada juga faktor predisposisi
lainnya yaitu usia, trauma berulang (repetitive injury), diabetes mellitus,
kelumpuhan, pasca operasi payudara atau dada dan infark miokardia, dari dalam
sendi glenohumeral (tendonitis bicipitalis, infalamasi rotator cuff,
fracture) atau kelainan ekstra articular (cervical spondylisis, angina
pectoris).
Pada frozen shoulder terdapat perubahan
patologi pada kapsul artikularis glenohumeral yaitu perubahan pada kapsul sendi
bagian anterior superior mengalami synovitis, kontraktur ligamen coracohumeral,
dan penebalan pada ligamen superior glenohumeral, pada kapsul sendi bagian
anterior inferior mengalami penebalan pada ligamen inferior glenohumeral dan
perlengketan pada ressesus axilaris, sedangkan pada kapsul sendi bagian
posterior terjadi kontraktur, sehingga ciri pada kasus ini
rotasi internal paling bebas, abduksi terbatas dan rotasi eksternal paling
terbatas atau biasa disebut pola kapsuler. Perubahan patologi tersebut
merupakan respon terhadap rusaknya jaringan lokal berupa inflamasi pada
membranesynovial.dan kapsul sendi glenohumeral yang membuat formasi
adhesivesehingga menyebabkan perlengketan pada kapsul sendi dan terjadi
peningkatan viskositas cairan sinovial sendi glenohumeral dengan kapasitas
volume hanya sebesar 5-10ml, yang pada sendi normal bisa mencapai 20-30m, dan
selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menjadi mengkerut. Pada
pemeriksaan gerak pasif ditemukan keterbatasan gerak pola kapsular
dan firm end feel dan inilah yang disebut frozen shoulder.
Nyeri yang ditimbulkan oleh frozen
shoulder dan spasme cervico thoracal akibat frozen shoulder dapat
menyebabkan terbentuknya “vicious circle of reflexes” yang
mengakibatkan medulla spinalis membangkitkan aktifitas efferent sistem simpatis
sehingga dapat menyebabkan spasme pada pembuluh darah kapiler akan kekurangan
cairan sehingga jaringan otot dan kulit menjadi kurang nutrisi. Pengaruh
refleks sistem simpatik pada otot pada tahap awal menunjukkan adanya
peningkatan suhu, aliran darah, gangguan metabolisme energi phospat tinggi dan
pengurangan konsumsi oksigen pada tahap akhir penyakit nonspesifik dan
abnormalitas histology dapat terjadi. Hal tersebut jika tidak ditangani dengan
baik akan membuat otot-otot bahu menjadi lemah dan dystrophy. Karena
stabilitas glenohumeral sebagian besar oleh sistem muskulotendinogen , maka
gangguan pada otot-otot bahu tersebut akan menyebabkan nyeri, menurunnya
mobilitas, sehingga mengakibatkan keterbatasan LGS bahu.
Frozen shoulder dibagi 2 Klasifikasi, yaitu :
1) Primer/ idiopetik frozen shoulder
Yaitu frozen yang tidak diketahui penyebabnya. Frozen shoulder lebih banyak
terjadi pada wanita dari pada pria dan biasanya terjadi usia lebih dari 41
tahun. Biasanya terjadi pada lengan yang tidak digunakan dan lebih memungkinkan
terjadi pada orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan gerakan bahu yang lama
dan berulang.
2) Sekunder frozen shoulder
Yaitu frozen yang diikuti trauma yang berarati pada bahu misal fraktur,
dislokasi, luka baker yang berat, meskipun cedera ini mungkin sudah terjadi
beberapa tahun sebelumnya.
B. Etiologi
Etiologi
dari frozen shoulder masih belum diketahui dengan pasti. Adapun
faktor predisposisinya antara lain periode immobilisasi yang lama, akibat
trauma, over use, cidera atau operasi pada sendi, hyperthyroidisme,
penyakit kardiovaskuler, clinical depression dan Parkinson (AAOS,
2000). Menurut American Academy Of Orthopedic Surgeon (2000), teori
yang mendasari terjadinya frozen shoulder adalah sebagai berikut :
1. Teori hormonal
Pada
umumnya frozen shoulder terjadi 60 % pada wanita bersamaan dengan
datangnya menopause.
2. Teori genetik
Beberapa studi
mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder, contohnya ada beberapa
kasus dimana kembar indentik pasti menderita pada saat yang sama.
3. Teori auto
immun
Diduga penyakit
ini merupakan respon auto immun terhadap hasil-hasil rusaknya
jaringan lokal.
4. Teori postur
Banyak studi
yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan postur tegap menyebabkan pemendekkan
pada salah satu ligamen bahu.
Penyebab frozen shoulder tidak
diketahui, diduga penyakit ini merupakan respon auto
immobization terhadap hasil – hasil rusaknya jaringan lokal. Meskipun
penyebab utamanya idiopatik, banyak yang menjadi predisposisi frozen
shoulder, selain dugaan adanya respon auto immobilisasi seperti yang
dijelaskan di atas ada juga faktor predisposisi lainnya yaitu usia, trauma
berulang (repetitive injury), diabetes mellitus, kelumpuhan, pasca operasi
payudara atau dada dan infark miokardia, dari dalam sendi glenohumeral
(tendonitis bicipitalis, infalamasi rotator cuff, fracture) atau kelainan
ekstra articular (cervical spondylisis, angina pectoris). De Palma (1973)
melaporkan bahwa setiap hambatan yang menghalangi gerak scapulohumeral/
scapulothoraxic menyebabkan inaktifitas dari otot sehingga merupakan
predisposisi terjadinya ‘frozen shoulder’.Keterbatasan sendi bahu (kaku pada
bahu) dikaitkan dengan kapsula adhesive secara langsung disebabkan oleh :
1. Causa Primair
a. Pengerutan /
atropi dari hampir seluruh atau sebagian kapsula sendi glenohumeral pada bagian
anterior dan caudal
b. Perlengketan
antara kapsula sendi jaringan lunak disekitarnya
c. Penurunan
tingkat elastisitas kapsula sendi
2. Causa Sekundair
a. Adanya nyeri
saat sendi diupayakan bergerak / digerakkan (mobilisasi)
b. Kelemahan otot
di sekitar bahu
Keadaan bahu seperti di atas dapat diawali
dengan tendinitis Supraspinatus / Bisipitalia atau Bursitis Acromialis, karena
tidak diobati dan gerakan di sendi bahu yang menimbulkan nyeri tidak dilatih,
maka lama kelamaan menimbulkan perlengketan.
Frozen shoulder dapat terjadi selain karena
gangguan miofisial “rotator cuff”, dapat pula dikarenakan oleh Diabetes
Melitus, “disuse” dari sendi bahu yang sering terjadi pada stroke / Hemiparese
/ Hemiplegia, Immobilisasi (fraktur, dislokasi, operatif). Kebanyakan penderita
frozen shoulder adalah wanita yang umur di atas 40 tahun.
C. Patologi
Patologinya dikarakteristikan dengan adanya
kekakuan kapsul sendi oleh jaringan fibrous yang padat dan selular. Berdasarkan
susunan intra articular adhesion, penebalan sinovialakan berlanjut ke
keterbatasan articular cartilago. Berkurangnya cairan sinovial pada sendi
sehingga terjadi perubahan kekentalan cairan tersebut yang menyebabkan
penyusutan pada kapsul sendi, sehingga sifat ekstensibilitas pada kapsul sendi
berkurang dan akhirnya terjadi perlekatan. Tendinitis bicipitalis,
calcificperitendinitis, inflamasi rotator cuff, frkatur atau kelainan ekstra
articular seperti angina pectoris, cervical sponylosis, diabetes mellitus yang
tidak mendapatkan penanganan secara tepat maka kelama-lamaan akan menimbulkan
perlekatan atau dapat menyebabkan adhesive capsulitis. Adhesive
capsulitis dapat menyebabkan patologi jaringan yang menyebabkan nyeri dan
menimbulkan spasme, degenerasi juga dapat menyebabkan nyeri dan dapat
menimbulkan spasme.
Selama peradangan berkurang jaringan
berkontraksi kapsul menempel pada kaput humeri dan guset
sinovial intra artikuler dapat hilang dengan perlengketan. Frozen
merupakan kelanjutan lesi rotator cuff, karena degenerasi yang progresif.
Jika berlangsung lama otot rotator akan tertarik serta
memperlengketan serta memperlihatkan tanda-tanda penipisan
dan fibrotisasi. Keadaan lebih lanjut, proses degenerasi diikuti
erosituberculum humeri yang akan menekan tendon bicep dan
bursa subacromialis sehingga terjadi penebalan dinding bursa.
Frozen shoulder dapat pula terjadi karena
ada penimbunan kristal kalsium fosfat dan karbonat pada rotator cuff.
Garam ini tertimbun dalam tendon, ligamen, kapsul serta dinding pembuluh darah.
Penimbunan pertama kali ditemukan pada tendon lalu kepermukaan dan menyebar
keruang bawah bursa subdeltoid sehingga terjadi radang bursa, terjadi
berulang-ulang karena tekiri terus-menerus menyebabkan penebalan dinding bursa,
pengentalan cairan bursa, perlengketan dinding dasar dengan bursa sehingga
timbul pericapsulitis adhesive akhirnya terjadi frozen shoulder.
Faktor immobilisasi juga merupakan salah satu
faktor terpenting yang juga dapat menyebabkan perlekatan intra, ekstra selular
pada kapsul dan ligamen, kemudian kelenturan jaringan menjadi menurun dan
menimbulkan kekakuan. Semua organ yang disekeliling jaringan lunak, terutama
tendon supraspinatus terlibat dalam perubahan patologi. Fibrotic ligamen
coracohumeral cenderung normal dari tendon bicep caput longum juga rusak
(robek). Keterlibatan tendon bicep berpengaruh secara signifikan dalam
penyebaran nyeri ke anterior sendi glenohumeral yang berhubungan dengan
adhesive capsulitis.
D. Tanda dan
Gejala
a. Nyeri
Pasien berumur 40-60 tahun, dapat memiliki riwayat trauma, seringkali
ringan, diikuti sakit pada bahu dan lengan nyeri secara berangsur-angsur
bertambah berat dan pasien sering tidak dapat tidur pada sisi yang terkena.
Setelah beberapa lama nyeri berkurang, tetapi sementara itu kekakuan semakin
terjadi, berlanjut terus selama 6-12 bulan setelah nyeri menghilang. Secara
berangsur-angsur pasien dapat bergerak kembali, tetapi tidak lagi normal (
Appley,1993 ).
b. Keterbatasan Lingkup gerak sendi
Capsulitis adhesive ditandai dengan
adanya keterbatasan luas gerak sendi glenohumeral yang nyata,
baik gerakan aktif maupun pasif. Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat
menyertai tendinitis, infark myokard, diabetes melitus, fraktur
immobilisasi berkepanjangan atauredikulitis cervicalis. Keadaan
ini biasanya unilateral, terjadi pada usia antara 45–60 tahun dan lebih sering
pada wanita.
Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi
pada malam hari sering sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga
penderita akan melakukan dengan mengangkat bahunya (srugging) (Heru
P Kuntono,2004).
c. Penurunan Kekuatan otot dan Atropi otot
Pada pemeriksaan fisik didsapat adanya kesukaran penderita dalam
mengangkat lengannya (abduksi) karena penurunan kekuatan otot. Nyeri dirasakan
pada daerah otot deltoideus, bila terjadi pada malam hari sering
menggangu tidur. Pada pemeriksaan didapatkan adanya kesukaran penderita dalam
mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita akan
melakukandengan mengangkat bahunya (srugging). Juga dapat dijumpai
adanya atropi bahu (dalam berbagaoi tingkatan). Sedangkan pemeriksaan
neurologik biasanya dalam batas normal (Heru P Kuntono, 2004).
d. Gangguan aktifitas fungsional
Dengan adanya beberapa tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita frozen
shoulder akibat capsulitis adhesiva seperti adanya
nyeri, keterbatasan LGS, penurunan kekuatan otot dan atropi maka
secara langsung akan mempengaruhi (mengganggu) aktifitas fungsional yang
dijalaninya.
E. Pemeriksaan Fisioterapi
Proses pemeriksaan fisioterapi dimulai dari
anamnesis, pemeriksaan dan dilanjutkan dengan menentulkan
diagnosis fisioterapi.
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan
fisik
· Pemeriksaan vital sign
· Inspeksi.
· Palpasi
· Pemeriksaan
kognitif, interpersonal dan intrapersonal.
Pemeriksaan kognitif yang diperoleh kognitif
pasien baik karena mempunyai atensi yang baik dan mampu mengorientasi waktu dan
ruang. Intra personal pasien baik, pasien mampu menerima keadaan dirinya saat
ini dan mempunyai semangat dan motivasi untuk sembuh. Interpersonal yang
dimiliki pasien baik, karena pasien mampu berkomunikasi dengan baik dan dapat
mengikuti intruksi terapis dengan baik.
· Pemeriksaan kemampuan fungsional dan lingkungan aktivias
Pemeriksaan kemampuan fungsional yang telah dilakukan adalah untuk
mengetahui kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selain itu
untuk mengetahui sebagaimana ketergantungan pasien terhadap bantuan orang lain
atau lingkungan sekitarnya dalam melakukan aktifitas fungsional. Pemeriksaan
kemampuan fungsional dan lingkungan aktivitas meliputi fungsional
dasar diperoleh (1) pasien mampu miring, tengkurap dan bangun dari tempat tidur
tanpa bantuan, (2) pasien mampu melakukan gerakan aktif pada sendi
bahu kiri dengan disertai nyeri, (3) pasien belum mampu bergerak full
Lingkup Gerak Sendi nya (LGS) pada sendi bahu kiri. Aktifitas fungsional pasien
terganggu diantaranya mengalami kesulitan saat melakukan aktifitas
kesehariannya terutama yang melibatkan bahu kiri diantaranya (1) menyisir
rambut, (2) menggosok punggung saat mandi, (3) memakai dan melepas baju, (4)
mengambil benda yang berada diatas. Lingkungan aktifitas dari pasien adalah
lingkungan keluarga pasien yang sangat mendukung kesembuhan pasien.
3. Pemeriksaan
gerak dasar
Pemeriksaan
gerak yang dilakukan meliputi :
a. Gerak aktif.
Dalam pemeriksaan gerak aktif, pasien diminta
untuk menggerakkan secara aktif bahunya kearah fleksi, ekstensi, abduksi,
adduksi, endorotasi, eksorotasi, elevasi, depresi, protraksi, retraksi dan
sirkumduksi. Dalam pemeriksaan ini diperoleh hasil (1) adanya rasa nyeri
pada bahu kiri setiap akhir gerakan pada semua arah gerak baik gerakan fleksi,
ekstensi, endorotasi, eksorotasi, abduksi dan adduksi sendi bahu, (2) adanya
keterbatasan lingkup gerak sendi ke semua arah gerak.
b. Gerak pasif.
Merupakan pemeriksaan gerak sendi bahu yang
dilakukan oleh fisioterapis kearah fleksi, ekstensi, eksorotasi, endorotasi,
sementara pasien dalam keadaan pasif dan rileks abduksi dan adduksi horizontal
dari hasil pemeriksaan ini diperoleh informasi berupa (1) adanya rasa nyeri
pada setiap akhir gerakan pada semua arah gerak baik gerakan fleksi, ekstensi,
endorotasi, eksorotasi, abduksi dan adduksi sendi bahu, (2) adanya keterbatasan
lingkup gerak sendi ke semua arah gerak, (3) rasa pada akhir gerakan (end
feel) sendi bahu ini adalah lunak terulur.
c. Gerak isometris melawan tahanan.
Pada pemeriksaan gerak ini prinsipnya masih sama seperti pada pemeriksaan
gerak aktif pada sendi bahu ke segala arah hanya saja pada pemeriksaan gerak
ini masih ditambah dengan tahanan secara isometrik oleh terapis dan hasil yang
diperoleh adalah (1) pasien mampu melakukan gerakan isometris melawan tahanan
terapis tanpa timbul adanya nyeri, (2) adanya penurunan kekuatan otot penggerak
bahu kiri baik fleksor, ekstensor, endorotator, eksorotator, abduktor dan
adduktor sendi bahu.
4. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan khusus yang dilakukan untuk
memeriksa hal-hal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa ataupun dasar
penyusunan problematik, tujuan dan tindakan fisioterapi, antara lain sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan
derajat nyeri
Disini penulis menggunakan verbale
diskriptive scale (VDS) yaitu cara pengukuran derajat nyeri dengan
tujuh nilai yaitu : nilai 1 tidak nyeri, nilai 2 nyeri sangat ringan, nilai 3
nyeri ringan, nilai 4 nyeri tidak begitu berat, nilai 5 nyeri cukup berat,
nilai 6 nyeri berat, nilai 7 nyeri tak tertahankan.
b. Pemeriksaan lingkup gerak sendi (LGS)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya keterbatasan lingkup
gerak sendi menggunakan alat yang disebut dengan goneometer, dalam
pelaksanaannya banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengukuran
diantaranya letak goneometer yang merupakan aksis dari sendi bahu. Hasil
pengukuran ditulis dengan standar International Standard Orthopedic
Measurement (ISOM). Cara penulisannya yaitu dimulai dari gerakan yang
menjauhi tubuh-posisi netral-gerakan mendekati tubuh. Pemeriksaan lingkup gerak
sendi bahu ini dilakukan dalm bidang gerak frontal (F), sagital (S), tranversal (T)
dan rotasi (R).
c. Joint play movement test
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan gerakan transalasi (traksi,
kompresi, dan gliding) secara pasif untuk menggambarkan apa yang terjadi di dalam
sendi ketika dilakukan gerakan translasi. Pada frozen shoulder terjadi
akibat capsulitis adhesiva, pola keterbatasan gerak sendi bahu
dapat menunjukkan pola yang spesifik, yaitu pola kapsuler saat dilakukan
pemeriksaan ini. Pola kapsuler sendi bahu yaitu gerak eksorotasi paling nyeri
dan terbatas kemudian diikuti gerak abduksi dan endorotasi, atau dengan kata
lain gerak eksorotasi lebih nyeri dan terbatas dibandingkan dengan gerak
endorotasi. Bila pada pemeriksaan gerak eksorotasi ditemukan paling nyeri dan
terbatas kemudian diikuti gerak abduksi dan abduksi lebih terbatas daripada
gerak endorotasi maka tes positif adanya frozen shoulder dan
terdapat pola kapsuler. Pada kasus ini didapatkan hasil positif yaitu gerakan
eksorotasi lebih terbatas dari gerak abduksi dan lebih terbatas dari gerakan
endorotasi. Pada frozen shoulder yang diakibatkan capsulitis adhesiva kualitasa
gerakan yang terjadi pada saat menggerakkan bonggol sendi humerus terasa adanya
suatu tahanan dari dalam, yang dapat menyebabkan munculnya rasa nyeri dan
keterbatasan LGS pada saat menggerakkan sendi bahu.
Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya keterbatasan gerak humerus, slide
keposterior, slide keanterior dan slide ke caudal, yang artinya ada
keterbatasan gerak kearah eksorotasi, endorotasi, abduksi, dan fleksi
yang berarti sesuai dengan pola kapsuler yaitu,
eksorotasi>abduksi>endorotasi.
e. Drop arm test/tes Mosley
Drop arm test bertujuan
untuk memeriksa adanya kerobekan darirotator cuff terutama otot
supraspinatus. Dimana pasien disuruh mengabduksikan lengannya dalam posisi
lurus secara penuh, kemudian pasien disuruh menurunkannya secara perlahan-lahan
apabila pasien tidak bisa menurunkan dengan perlahan tapi lengan langsung jatuh
berarti tes positif.
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1 Ultra Sound
Gelombang ultra
sound merupakan gelombang suara yang di peroleh dari getaran yang memiliki
frekuensi 20.000 Hz. Frekuensi ultra sound merupakan jumlah oscilasi gelombang
suara yang dicapai dalam waktu satu detik yang dinyatakan dengan megahertz
(MHz). Umumnya frekuensi yang ddigunakan dalam terapi ultra sound adalah 1 dan
3 MHz (Prentice, 2002). Ultra Sound memiliki tiga efek antara lain: (1) efek
mekanik, (2) efek panas, dan (3) efek biologis.Karena terapi ultrasound
meningkatkan sirkulasi darah dan oksigen ke daerah yang cedera , itu adalah
metode rehabilitasi yang baik untuk frozen shoulder yang menggunakan gelombang suara untuk
mengobati nyeri , peradangan dan spasme otot .
2. Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)merupakan suatu cara penggunaan energi listrik
guna merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk
merangsang berbagai tipe nyeri.
Pemberian TENS dapat menurunkan nyeri, baik dengan
cara peningkatan vaskularisasi pada jaringan yang rusak tersebut , maupun
melalui normalisasi saraf pada level spinal maupun supra spinal, sehingga
dengan berkurangnya nyeri pada bahu didapatkan gerakan yang lebih ringan. Efek
TENS terhadap pengurangan nyeri juga dapat mengurangi spasme dan meningkatkan
sirkulasi, sehingga memutuskan lingkaran “viscous circle of reflex” yang
pada akhirnya dapat meningkatkan LGS.
TENS efektif mengurangi nyeri melalui aktivasi saraf
berdiameter besar dan kecil melalui kulit yang selanjutnya akan memberikan
informasi sensoris ke saraf pusat. TENS menghilangkan nyeri dikaitkan melalui
sistem reseptor nosiseptif dan mekanoreseptor.Sistem reseptor nosiseptif bukan
akhiran saraf bebas, melainkan fleksus saraf halus tak bermyelin yang
mengelilingi jaringan dan pembuluh darah.
Pengurangan nyeri yang ditimbulkan oleh TENS
dapat juga meningkatkan kekuatan otot karena menormalkan aktivitas α
motor neuron sehingga otot dapat berkontraksi secara maksimal, dan berkurangnya
“refleks exitability” dari beberapa otot antagonis gelang bahu
sehingga otot agonis dapat melakukan gerakan, dan karena stabilitas terbesar
pada sendi bahu oleh otot, maka hal tersebut meningkatkan mobilitas sendi bahu.
3. Terapi
manipulasi/mobilisasi
Terapi
manipulasi adalah suatu teknik manual terapi yang terdiri dari sebuah rangkaian
gerakan pasif yang terampil untuk sendi atau jaringan lunak yang terkait (atau
keduanya) yang diterapkan pada gerakan terapi berbagai kecepatan dan amplitudo
yang kecil/ kecepatan tinggi (Edmond, 2006).
Terapi manipulasi adalah suatu gerakan pasif yang digerakkan dengan
tiba- tiba, amplitude kecil dan kecepatan yang tinggi, sehingga pasien tidak
mampu menghentika gerakan yang terjadi ( Mudatsir, 2007 ).Tujuan mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi
sendi normal dan tanpa nyeri. Secara mekanis, tujuannya adalah untuk
memperbaiki joint play movement dan dengan demikian
memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif.
Terapi manipulasi harus diakhiri apabila sendi telah mencapai LGS maksimal
tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal (Heru
P Kuntono, 2007).
Gerakan translasi (traksi dan gliding) dibagi
menjadi tiga gradasi. Gradasi gerakan ini ditentukan berdasarkan tingkat
kekendoran (slack)sendi yang dirasakan fisioterapis saat melakukan
gerakan pasif seperti yang ditunjukkan pada Grade I
· Grade I traksi merupakan gerakan dengan
amplitudo sangat kecil sehingga tidak sampai terasa adanya geseran permukaan
sendi. Kekuatan gaya tarik yang diberikan sebatas cukup untuk menetralisir gaya
kompresi yang bekerja pada sendi.Kombinasi antara tegangan otot, gaya kohevisitas kedua
permukaan sendi dan tekiri atmosfer menghasilkan gaya kompresi pada sendi.
· Grade II traksi dan gliding gerakan
sampai terjadi slack taken upjaringan di sekitar persendian
meregang.
· Grade III traksi dan gerakan sampai diperoleh slack
taken upkemudian diberi gaya lebih besar lagi sehingga jaringan di sekitar
persendian teregang.
Traksi untuk memperbaiki luas gerak sendi:
Traksi mobilisasi grade III efektif untuk
memperbaiki mobilitassendi karena dapat meregang (streatch)
jaringan lunak sekitar persendian yang memendek. Traksi-mobilisasi dipertahamkan
selama 7 detik atau lebih dengan kekuatan maksimal sesuai dengan toleransi
pasien. Antara dua traksi yang dilakukan, traksi tidak
perlu dilepaskan total keposisi awal melainkan cukup diturunkan kegrade
II dan kemudian lakukan traksi grade III lagi.
(Mudatsir S, 2002).
4. Terapi Latihan
Pada kasus ini
metode latihan yang dipilih adalah latihan free active dan active ressisted.
a. Free Active
Free Active Exercise adalah suatu bentuk latihan aktif yang dilakukan oleh
kekuatan otot pasien itu sendiri tanpa menggunakan suatu bantuan dan tahanan
yang berasal dari luar, kecuali gravitasi (Hidayat, 2008).
b. Active
Ressisted Active Ressisted Exercise adalah suatu bentuk latihan aktif melawan
tahanan dimana kekuatan tahanan di terapkan oleh terapis baik dinamis maupun
statis kontraksi otot (Kisner, 2007).
Beberapa
variasi latihan peregangan yang dianjurkan sebagai berikut :
a. Gerakan
Eksternal Rotation (peregangan /stretch pasif)
Posisi berdiri
di ambang pintu dan tekuk lengan yang sakit dengan posisi siku 90° untuk
mencapai pintu tersebut. Kemudian lakukan gerakan menjauh dan memutar tubuh
anda seperti yang ditunjukkan pada gambar no (1). Tahan gerakan ini selama ± 30
detik. Istirahat sejenak dan kemudian ulangi kembali.
b. Gerakan Forward
Flexion
Latihan ini
dilakukan dengan posisi tubuh berbaring telentang dengan kaki lurus. Gunakan
lengan yang sehat untuk mengangkat lengan yang sakit hingga di atas kepala
sampai dirasakan peregangan ringan pada area bahu yang sakit. Tahan posisi ini
selama ± 15 detik dan turunkan lengan perlahan-lahan hingga kembali ke posisi
awal. Istirahatkan sejenak dan ulangi gerkan ini kembali.
c. Crossover Arm
Stretch
Tarik lengan
yang sakit menuju dada tepat di bawah dagu sejauh mungkin tanpa menimbulkan
rasa nyeri. Tahan selama ± 30 detik, istirahatkan sejenak dan ulangi kembali
gerakan tersebut.
refrensi
Komentar
Posting Komentar